Saturday 30 January 2010

Antara Zionisme dan Yahudi

Oleh: Harun Yahya

Musim panas tahun 1982 menjadi saksi atas kebiadaban luar biasa yang menyebabkan seluruh dunia berteriak dan mengutuknya dengan keras. Tentara Isrel memasuki wilayah Lebanon dalam suatu serbuan mendadak, dan bergerak maju sambil menghancurkan sasaran apa saja yang nampak di hadapan mereka. Pasukan Israel ini mengepung kamp-kamp pengungsi yang dihuni warga Palestina yang telah melarikan diri akibat pengusiran dan pendudukan oleh Israel beberapa tahun sebelumnya. Selama dua hari, tentara Israel ini mengerahkan milisi Kristen Lebanon untuk membantai penduduk sipil tak berdosa tersebut. Dalam beberapa hari saja, ribuan nyawa tak berdosa telah terbantai.
Terorisme biadab bangsa Israel ini telah membuat marah seluruh masyarakat dunia. Tapi, yang menarik adalah sejumlah kecaman tersebut justru datang dari kalangan Yahudi, bahkan Yahudi Israel sendiri. Profesor Benjamin Cohen dari Tel Aviv University menulis sebuah pernyataan pada tanggal 6 Juni 1982:
"Saya menulis kepada anda sambil mendengarkan radio transistor yang baru saja mengumumkan bahwa ‘kita’ sedang dalam proses ‘pencapaian tujuan-tujuan kita’ di Lebanon: yakni untuk menciptakan ‘kedamaian’ bagi penduduk Galilee. Kebohongan ini sungguh membuat saya marah. Sudah jelas bahwa ini adalah peperangan biadab, lebih kejam dari yang pernah ada sebelumnya, tidak ada kaitannya dengan upaya yang sedang dilakukan di London atau keamanan di Galilee…Yahudi, keturunan Ibrahim…. Bangsa Yahudi, mereka sendiri menjadi korban kekejaman, bagaimana mereka dapat menjadi sedemikian kejam pula? … Keberhasilan terbesar bagi Zionisme adalah de-Yahudi-isasi bangsa Yahudi. ("Professor Leibowitz calls Israeli politics in Lebanon Judeo-Nazi" Yediot Aharonoth, 2 Juli 1982)
Benjamin Cohen bukanlah satu-satunya warga Israel yang menentang pendudukan Israel atas Lebanon. Banyak kalangan intelektual Yahudi yang tinggal di Israel yang mengutuk kebiadaban yang dilakukan oleh negeri mereka sendiri.
Pensikapan ini tidak hanya tertuju pada pendudukan Israel atas Lebanon. Kedzaliman Israel atas bangsa Palestina, keteguhan dalam menjalankan kebijakan penjajahan, dan hubungannya dengan lembaga-lembaga semi-fasis di bekas rejim rasis Apartheid di Afrika Selatan telah dikritik oleh banyak tokoh intelektual terkemuka di Israel selama bertahun-tahun. Kritik dari kalangan Yahudi sendiri ini tidak terbatas hanya pada berbagai kebijakan Israel, tetapi juga diarahkan pada Zionisme, ideologi resmi negara Israel.
Ini menyatakan apa yang sesungguhnya terjadi: kebijakan pendudukan Israel atas Palestina dan terorisme negara yang mereka lakukan sejak tahun 1967 hingga sekarang berpangkal dari ideologi Zionisme, dan banyak Yahudi dari seluruh dunia yang menentangnya.
Oleh karena itu, bagi umat Islam, yang hendaknya dipermasalahkan adalah bukan agama Yahudi atau bangsa Yahudi, tetapi Zionisme.
Sebagaimana gerakan anti-Nazi tidak sepatutnya membenci keseluruhan masyarakat Jerman, maka seseorang yang menentang Zionisme tidak sepatutnya menyalahkan semua orang Yahudi.
Asal Mula Gagasan Rasis Zionisme
Setelah orang-orang Yahudi terusir dari Yerusalem pada tahun 70 M, mereka mulai tersebar di berbagai belahan dunia. Selama masa
‘diaspora’ ini, yang berakhir hingga abad ke-19, mayoritas masyarakat Yahudi menganggap diri mereka sebagai sebuah kelompok masyarakat yang didasarkan atas kesamaan agama mereka. Sepanjang perjalanan waktu, sebagian besar orang Yahudi membaur dengan budaya setempat, di negara di mana mereka tinggal. Bahasa Hebrew hanya tertinggal sebagai bahasa suci yang digunakan dalam berdoa, sembahyang dan kitab-kitab agama mereka. Masyarakat Yahudi di Jerman mulai berbicara dalam bahasa Jerman, yang di Inggris berbicara dengan bahasa Inggris. Ketika sejumlah larangan dalam hal kemasyarakatan yang berlaku bagi kaum Yahudi di negara-negara Eropa dihapuskan di abad ke-19, melalui emansipasi, masyarakat Yahudi mulai berasimilasi dengan kelompok masyarakat di mana mereka tinggal. Mayoritas orang Yahudi menganggap diri mereka sebagai sebuah ‘kelompok agamis’ dan bukan sebagai sebuah ‘ras’ atau ‘bangsa’. Mereka menganggap diri mereka sebagai masyarakat atau orang ‘Jerman Yahudi’, ‘Inggris Yahudi, atau ‘Amerika Yahudi’.
Namun, sebagaimana kita pahami, rasisme bangkit di abad ke-19. Gagasan rasis, terutama akibat pengaruh teori evolusi Darwin, tumbuh sangat subur dan mendapatkan banyak pendukung di kalangan masyarakat Barat. Zionisme muncul akibat pengaruh kuat badai rasisme yang melanda sejumlah kalangan masyarakat Yahudi.
Kalangan Yahudi yang menyebarluaskan gagasan Zionisme adalah mereka yang memiliki keyakinan agama sangat lemah. Mereka melihat “Yahudi” sebagai nama sebuah ras, dan bukan sebagai sebuah kelompok masyarakat yang didasarkan atas suatu keyakinan agama.
Mereka mengemukakan bahwa Yahudi adalah ras tersendiri yang terpisah dari bangsa-bangsa Eropa, sehingga mustahil bagi mereka untuk hidup bersama, dan oleh karenanya, mereka perlu mendirikan tanah air mereka sendiri. Orang-orang ini tidak mendasarkan diri pada
pemikiran agama ketika memutuskan wilayah mana yang akan digunakan untuk mendirikan negara tersebut. Theodor Herzl, bapak pendiri Zionisme, pernah mengusulkan Uganda, dan rencananya ini dikenal dengan nama ‘Uganda Plan’. Kaum Zionis kemudian menjatuhkan pilihan mereka pada Palestina. Alasannya adalah Palestina dianggap sebagai ‘tanah air bersejarah bangsa Yahudi’, dan bukan karena nilai relijius wilayah tersebut bagi mereka.
Para pengikut Zionis berusaha keras untuk menjadikan orang-orang Yahudi lain mau menerima gagasan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama mereka ini. Organisasi Yahudi Dunia, yang didirikan untuk melakukan propaganda masal, melakukan kegiatannya di negara-negara di mana terdapat masyarakat Yahudi. Mereka mulai menyebarkan gagasan bahwa orang-orang Yahudi tidak dapat hidup secara damai dengan bangsa-bangsa lain dan bahwa mereka adalah suatu ‘ras’ tersendiri; dan dengan alasan ini mereka harus pindah dan bermukim di Palestina. Sejumlah besar masyarakat Yahudi saat itu mengabaikan seruan ini.
Dengan demikian, Zionisme telah memasuki ajang politik dunia sebagai sebuah ideologi rasis yang meyakini bahwa masyarakat Yahudi tidak seharusnya hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain. Di satu sisi, gagasan keliru ini memunculkan beragam masalah serius dan tekanan terhadap masyarakat Yahudi yang hidupnya tersebar di seluruh dunia. Di sisi lain, bagi masyarakat Muslim di Timur Tengah, hal ini memunculkan kebijakan penjajahan dan pencaplokan wilayah oleh Israel, pertumpahan darah, kematian, kemiskinan dan teror.
Banyak kalangan Yahudi saat ini yang mengecam ideologi Zionisme. Rabbi Hirsch, salah seorang tokoh agamawan Yahudi terkemuka, mengatakan:
‘Zionisme berkeinginan untuk mendefinisikan masyarakat Yahudi sebagai sebuah bangsa .... ini adalah sesuatu yang menyimpang (dari ajaran agama)’. (Washington Post, 3 Oktober 1978)
Seorang pemikir terkemuka, Roger Garaudy, menulis tentang masalah ini:
"   Musuh terbesar bagi agama Yahudi adalah cara berpikir nasionalis, rasis dan kolonialis dari Zionisme, yang lahir di tengah-tengah (kebangkitan) nasionalisme, rasisme dan kolonialisme Eropa abad ke-19. Cara berpikir ini, yang mengilhami semua kolonialisme Barat dan semua peperangannya melawan nasionalisme lain, adalah cara berpikir bunuh diri. Tidak ada masa depan atau keamanan bagi Israel dan tidak ada perdamaian di Timur Tengah kecuali jika Israel telah mengalami “de-Zionisasi” dan kembali pada agama Ibrahim, yang merupakan warisan spiritual, persaudaraan dan milik bersama dari tiga agama wahyu: Yahudi, Nasrani dan Islam. (Roger Garaudy, "Right to Reply: Reply to the Media Lynching of Abbe Pierre and Roger Garaudy", Samizdat, Juni 1996)
Dengan alasan ini, kita hendaknya membedakan Yahudi dengan Zionisme. Tidak setiap orang Yahudi di dunia ini adalah seorang Zionis. Kaum Zionis tulen adalah minoritas di dunia Yahudi. Selain itu, terdapat sejumlah besar orang Yahudi yang menentang tindakan kriminal Zionisme yang melanggar norma kemanusiaan. Mereka menginginkan Israel menarik diri secara serentak dari semua wilayah yang didudukinya, dan mengatakan bahwa Israel harus menjadi sebuah negara bebas di mana semua ras dan masyarakat dapat hidup bersama dan mendapatkan perlakuan yang sama, dan bukan sebagai ‘negara Yahudi’ rasis.
Kaum Muslimin telah bersikap benar dalam menentang Israel dan Zionisme. Tapi, mereka juga harus memahami dan ingat bahwa permasalahan utama bukanlah terletak pada orang Yahudi, tapi pada Zionisme.
 
Sumber:
http://www.dakwah.info/content-category-mainmenu-2/ghazwul-fikr/407-antara-zionisme-dan-yahudi

Tuesday 26 January 2010

Assalaamu`alaikum!



Seorang lelaki pernah menghampiri Rasulullah s.a.w. dan mengucapkan “Assalamu’alaikum.” Rasulullah berkata: “Sepuluh (kebaikan).” Kemudian datang pula orang lain mengucapkan: “Assalamu’alaikum warahmatullah.” Rasulullah berkata: “Dua puluh (kebaikan).” Kemudian datang pula orang lain dengan mengucapkan: “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Rasulullah berkata: “Tiga puluh (kebaikan).” [Shahih Sunan al-Tirmizi, no: 2689]

Hadis di atas mengajar kita ucapan salam yang terbaik, iaitu: “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Dalam bab ini terdapat sebuah riwayat yang menerangkan ucapan: “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh wamaghfiratuh.” Akan tetapi riwayat ini memiliki kelemahan di dalamnya, oleh itu memadailah kita dengan riwayat yang sahih di atas.



Hukum Dan Cara Menjawab Salam.

Hukum menjawab salam ialah wajib berdalilkan hadis berikut: “Hak seorang muslim terhadap seorang muslim yang lain ada lima, (salah satu daripadanya ialah) menjawab salam.” [Shahih al-Bukhari, no: 1240] Ada pun cara menjawab salam, maka Allah s.w.t. mengajar kita untuk membalasnya dengan sesuatu yang lebih baik. Allah berfirman, maksudnya:

“Dan apabila kamu diberikan penghormatan dengan sesuatu ucapan hormat (seperti memberi salam), maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya, atau balaslah dia (dengan cara yang sama). Sesungguhnya Allah sentiasa menghitung tiap-tiap sesuatu.” [Surah al-Nisa’, ayat 86]

Oleh itu apabila seseorang mengucapkan kepada kita: “Assalamu’alaikum”, balaslah ia dengan yang lebih baik seperti: “wa’alaikumussalam warahmatullah.” Jika kita diucap: “Assalamu’alaikum warahmatullah”, balaslah ia dengan: “wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.” Akan tetapi jika kita didahului dengan: “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”, balasannya yang paling baik ialah: “wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.” Tidak lebih dari itu.

Ingin saya gariskan, apabila kita mengucap atau membalas salam, hendaklah bersungguh-sungguh lagi benar-benar memaksudkannya. Jangan sekadar: “Saimaikum” atau mengucapkannya sekadar melepaskan batuk di tangga.



Sentiasa Mencari Peluang Mengucapkan Salam.

Dalam tulisan sebelum ini, saya mengemukakan sekian banyak hadis yang menerangkan keutamaan dan kepentingan mengucapkan salam. Perkara ini adalah sesuatu yang benar-benar ditekankan oleh Islam sehingga Rasulullah s.a.w. menyuruh kita mengucapkan salam pada setiap peluang yang ditemui. Antaranya ialah sabda baginda: “Jika dua orang muslim jalan beriringan lalu mereka terpisah oleh pokok, batu atau lumpur, maka hendaklah salah seorang daripada mereka mengucapkan salam kepada yang lain (ketika beriringan kembali) dan mereka saling bertukar salam.” [Shahih al-Jami’ al-Shagheir, no: 355]

Pada ketika yang lain baginda menekankan: “Jika salah seorang daripada kalian datang ke suatu majlis, ucapkanlah salam … kemudian jika dia bangun (untuk balik), ucapkanlah salam. Salam yang pertama tidaklah lebih baik daripada salam yang kedua (maksudnya, kedua-dua ucapan salam adalah penting).” [Shahih Sunan al-Tirmizi, no: 2706] Demikian juga apabila kita memasuki rumah: “Jika kamu memasuki rumah maka ucapkanlah salam kepada penghuninya dan jika kamu keluar dari rumah maka ucapkanlah salam kepada penghuninya.” [al-Misykat al-Mashabih, no: 4651]

Kita juga dituntut mengucapkan salam sebelum berbicara atau bertanya. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Salam sebelum kalam (perbicaraan).” [Shahih Sunan al-Tirmizi, no: 2699] Bahkan baginda pernah menegaskan: “(Ucapkanlah) salam sebelum bertanya, sesiapa yang bertanya kepada kamu (sesuatu) sebelum mengucapkan salam (terlebih dahulu) maka janganlah kamu menjawab (soalan itu).” [Silsilah al-Ahadits al-Shahihah, no: 816] Dalam beberapa riwayat diterangkan apabila Rasulullah s.a.w. meminta jurutulisnya menulis surat, ia dimulai dengan ucapan salam. Justeru apa jua medium komunikasi, hendaklah kita mulakannya dengan salam. Baik emel, talifon atau pesanan ringkas (SMS) mulakanlah ia dengan salam yang sempurna.

Kita juga dianjurkan mengirim salam sebagaimana hadis berikut di mana seseorang datang berjumpa Rasulullah s.a.w. dan mengkhabarkan bahawa ayahnya mengirim salam kepada baginda. Maka Rasulullah menjawab: “Alaikas salam wa ‘ala abikas salam (salam ke atas kamu dan salam ke atas ayah kamu).” [Shahih Sunan Abu Daud, no: 5231]



Ucapan Salam Kepada Orang Bukan Islam.

Jika kita berhadapan dengan sekumpulan orang yang terdiri daripada orang Islam dan bukan Islam, kita tidak perlu menyebut: “Assalamu’alaikum dan selamat pagi.” Sebaliknya memadai ucapan: “Assalamu’alaikum” untuk semua yang hadir dalam kumpulan itu berdasarkan hadis berikut: “Sesungguhnya Nabi s.a.w. pernah berjalan melintasi suatu majlis yang berhimpun di dalamnya orang Islam dan bukan Islam. Baginda mengucapkan salam kepada mereka.” [Shahih Sunan al-Tirmizi, no: 2702]

Ada pun terhadap orang bukan Islam sahaja, terdapat perbezaan pendapat di kalangan para ilmuan tentang hukum mengucapkan salam. Mereka berbeza dalam menafsirkan hadis berikut: “Janganlah kalian mendahului salam kepada orang Yahudi mahu pun Nasrani. Jika salah seorang daripada kalian bertembung dengan mereka di satu jalan, maka persempitkanlah jalan mereka.” [Shahih Muslim, no: 2167] Sebahagian ilmuan berpendapat hadis di atas ditujukan kepada kepada semua golongan bukan Islam, maka tidak boleh mengucapkan salam kepada mereka. Sebahagian lagi berpendapat hadis di atas ditujukan kepada golongan bukan Islam yang memusuhi Islam sahaja. Ada pun bagi orang bukan Islam yang memiliki sikap yang damai terhadap Islam dan umatnya, kita dibolehkan mengucapkan salam kepada mereka. Saya lebih cenderung kepada pendapat yang kedua.

Seterusnya jika orang bukan Islam mengucapkan salam kepada kita, maka balaslah ia dengan “Wa ‘alaikum.” Rasulullah s.a.w. bersabda: “Jika ahli kitab mengucapkan salam kepadamu, maka jawablah: wa ‘alaikum.” [Shahih Muslim, no: 2163]

Hafizfirdaus.com